Advokat ohhh Advokat “Dicurigai dan Dizholimi”

Peran Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai wadah tentunya harus bekerja secara profesional, berani, kritis, dan memiliki hati nurani. (Foto : Aman)

HARRIS BARELANG

WARTAKEPRI.co.id, KARIMUN – Advokat di Indonesia salah satu profesi yang paling tidak dipercaya oleh Stakeholdernya, selalu dicurigai dan dimarginalkan.

Kita mulai di Pengadilan. Sebelum acara di Pengadilan dimulai, Hakim bakal menanyakan dan memeriksa mana Berita Acara Sumpah (BAS), kartu Advokat dan kartu organisasi Advokat.

Sekarang untuk Advokat dapat beracara di Pengadilan harus memiliki BAS atau pengangkatan sebagai Advokat sebelum Undang-undang Advokat berlaku. Kalau sudah jadi Advokat sebelum UU Advokat lahir. Semua harus diperlihatkan keasliannya, tidak boleh foto copynya. Setelah ada aslinya diperlihatkan, barulah boleh diserahkan foto copynya.

Honda Capella

Kenapa Advokat diminta menunjukan asli keabsahannya sebagai Advokat, sedangkan Jaksa dan Hakim sebagai sesama penegak hukum tidak? Karena Advokat tidak dipercaya. Takut si Advokat berbohong, sebenarnya dia belum berhak praktek beracara di Pengadilan, tapi mengaku sudah jadi Advokat. Kalau hanya foto copyannya saja, dapat saja dipalsukan oleh Advokatnya.

Stigma advokat profesi tukang kibul (suka berbohong) membuat semua identitas dan kelengkapan surat sebagai Advokat harus ditunjukan aslinya. Tidak ada usaha bikin praktis, misal cukup mempergunakan barkot atau kode nomor BAS dan sebagainya. Konstruksi berpikirnya, “Jangan sampai ketipu oleh Advokat.”

Sedangkan Jaksa yang ikut sidang yang sama, diamsumsikan sudah dipastikan benar, tidak mungkin bohong. Jadi tidak perlu ditanyakan lagi mana surat tugasnya, apakah surat tugasnya benar atau tidak, ada kesalahan administrasinya atau tidak, sudah tidak perlu dan tidak penting ditanya. Jaksa sudah terjamin pasti benar, tidak seperti Advokat yang perlu dicurigai dari awal.

Apalagi Hakimnya. Siapa pula yang mau bertanya mana surat ketetapan dari Ketua PN yang menunjuk Majelis Hakim yang mengadili suatu perkara. Kalau kemudian Hakimnya diganti, mana pula bukti surat keterangan pergantiannya.

Ahhh, Hakim kan, itu yang Mulia, gak perlu disangsikan lagi, malah gak boleh sampai dicek segala Kemuliaannya (Kalau ada Hakim yang terima suap, cuma dianggap segelintir, dan itu pun lantaran pengaruh buruk dan kekhilafan semata, bukan).

Selebihnya, Hakim pasti orang baik. Jadi Tidak perlu keabsahan surat tugasnya dipersoalkan. Lain dengan Advokat, dipandang sering bohong, jadi harus bener-bener dicros cek. Stigma terhadap Advokat begitu.

Advokat juga profesi yang sudah biasa “dizholimi” di Pengadilan. Diagendakan dan disuruh sidang pukul 09.00 WIB, sidangnya baru mulai pukul 17.00 WIB, atau bahkan setelah bada Maghrib, Advokat tidak punya hak marah atau protes.

Sudah dipandang lumrah tugas Advokat menanti tanpa kepastian. Urusan kerugian waktu dan materil, itu sudah dianggap menjadi derita Advokat. Kan Advokat strata penegak hukum terendah, jadi boleh diperlakukan semaunya.

Alasannya macam-macam. Hakimnya banyak perkara lain yang masih harus diperiksa. Jaksanya belum datang dan sebagainya. Bahkan, setelah sidang ditunda dua minggu dan ditunda lagi tiga minggu, pada harinya, si Hakim bilang keputusannya sedang dibuat, sementara si Hakim Ketua sidang sudah berada di ruang sidang.

Entah siapa yang buat keputusannya. Advokat gak boleh protes. Gak boleh tanya-tanya kenapa begitu. Pokoknya Advokat di Pengadilan kasta terbawah. Jadi, kalau menerima perlakuan tak adil, ya selama ini dinilai wajar-wajar saja.

Soal keputusan juga suka-suka Hakim. Sidang boleh panjang dengan menghadirkan Ahli, berbagai bukti dan kesimpulan, bahkan sidang berlangsung hingga setahun. Ehhh pas keputusan cukup dianggap tidak dapat diterima (No) karena kurang pihak (biar pihak yang kurang itu sudah dihukum pidana) atau salah objek karena tulisan tidak tepat dan sebagainya.

Kenapa tidak dari awal saja diputusin waktu eksepsi, sehingga tidak perlu menunggu waktu sampai begitu panjang, itu sepenuhnya otoritas mutlak Hakim.

Tidak peduli Advokat sudah minta klien mengeluarkan uang banyak untuk Ahli, bukti dan sebagainya. Apalagi cuma waktu Advokat yang terbuang. Semua bukan tanggung jawab moral Hakim, tapi “Derita Anda” wahai Advokat.

Demikian juga kalau Hakim setelah menguraikan berbagai hal hingga kesimpulan. Ternyata putusannya tidak sesuai dengan uraiannya. Sudahlah Advokat harus mahfum saja. Kalau tidak setuju silahkan naik banding.

Soal kewajiban Advokat membela kliennya, hari gini cuma dipandang utopia saja. Walhasil Advokat juga sah kalau dicuragai bakal memberikan celah-celah hukum yang dapat menjadi penolong tersangka (terdakwa). Advokat itu seakan monster di sisi penjahat. Jadi gak boleh mendampingi kliennya.

Pekerjaan advokat yang mungkin mendapat “dukungan” dari sesama aparat penegak hukum, paling jadi Markus alias Makelar Kasus.

Menghubungi Polisi, Jaksa dan atau Hakim dengan klien, dan mengatur berapa biaya yang ditentukan. Itu pun masih dengan satu kecurigaan, biaya-biaya itu sudah di markup oleh Advokat. Bukankah stigmanya mana ada Advokat yang jujur, itu capnya.

Aneh bin ajaibnya, para Advokat pun relatif tidak ada yang “protes,” konon lagi “berontak” pada keadaan seperti ini, para Advokat lebih suka mengurus dan menambah jumlah anggota organisasinya. Memang sesama organisasi Advokat sedang dibiarkan saling cakar.

Saat ini semakin banyak saja organisasi Advokat. Mereka membuat semakin mudah menjadi Advokat. Setidaknya saat ini terdapat 40 organisasi Advokat, dan akan semakin banyak lagi. Makanya lantaran sibuk mempersoalkan urusan internal organisasi, Advokat sulit membela sesama Advokat yang sedang dikriminalkan.

Advokat Pelayan Masyakarat, Agung : Tidak Tebang Pilih, Wajib Membantu

Seluk-beluk Advokat ini, mendapat tanggapan dari Praktisi Hukum, Raden Agung Gunawan.

Dirinya menjabarkan bahwa, seorang Advokat merupakan pelayan masyarakat, hal tersebut tentunya harus dipahami oleh setiap Pengacara.

“Sehingga sebagai seorang pelayan masyarakat, tidak boleh money oriented, harus mampu mengedukasi masyarakat, terkait dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini, dan terakhir tidak boleh tebang pilih, tidak boleh memilih oh ini klien yang menguntungkan, yang tidak menguntungkan saya, ah ini pasti kalah dan nantinya reputasi dan nama saya akan jelek (buruk), jadi tidaklah boleh seperti itu,” paparnya, Senin (3/1/2022).

Jadi menurutnya, siapapun yang menghadap kepada seorang Advokat, untuk meminta bantuan hukum, tentunya sebagai seorang pengacara tidak boleh menolak.

“Wajib menerima dalam kondisi apapun,” tegasnya.

Karena seorang Advokat itu, dari sudut pandangnya justru lebih cenderung fungsi edukasi kepada masyarakat. Dimana masyakarat yang tadinya tidak paham tentang permasalahan yang dihadapinya tersebut, diharapkan dengan bantuan seorang Pengacara paham, bagaimana duduk permasalahan perkaranya maupun cara penanganannya.

“Kadang masyarakat tidak paham dengan aturan-aturan hukum yang berlaku di negara Indonesia, sehingga Pengacara tersebut mampu menyampaikan sekaligus membantu untuk menangani perkaranya,” ungkap pria kelahiran Cirebon Jawa Barat, 29 Februari 1980 ini.

Selain itu, kata Agung jika ditelisik dari Kode Etik seorang Advokat yang pertama jelas harus mampu memberikan bantuan kepada masyarakat, menjaga kerahasian bagi kliennya, juga harus memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.

“Jadi Advokat itu tidak diperbolehkan untuk bermain, istilahnya itu menjadi Makelar Kasus (Markus). Jadi seorang Pengacara sudah mengetahui bahwa kliennya bermasalah, terus kemungkinannya kecil untuk menang dalam perkaranya, lalu si Pengacara bermain itu yang tidak diperbolehkan dan melanggar Kode Etik,” ungkap pria yang merampungkan kuliah S1 Hukumnya di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Jawa Tengah ini.

Sehingga menurutnya, seorang Pengacara harus mampu memberikan edukasi terlebih dahulu kepada kliennya, bahwa duduk permasalahannya, dan kliennya akan sulit untuk memenangkannya, tapi Pengacara yang bersangkutan akan mengupayakannya dengan pelbagai celah hukum yang bisa ditemukan oleh Pengacara itu untuk memperjuangkan haknya.

“Jadi tidak boleh seorang Pengacara kemudian menangani perkara, lalu berkaitan dengan nilai (nominal), angka-angka, itu dilarang keras dan sudah tidak profesional, sehingga diluar Kode Etik,” tegasnya.

Pada prinsipnya, menurut pria yang menyelesaikan kuliah S2 Hukum Internasional Universitas Indonesia, Jakarta ini, seorang Pengacara harus mengedepankan kepastian hukum, dan yang jelas mereka adalah salah satu pelayan masyarakat.

“Kesuksesan seorang Pengacara memang targetnya adalah, mampu membebaskan klien yang bersangkutan, bebas murni, bebas dari segala tuntutan hukum, itu prestasi. Akan tetapi, melihat dari perkaranya juga, maka klien haruslah diedukasi. Seberapa kuat untuk memenangkan perkara, kembali tergantung dari bukti-bukti yang bisa dikumpulkan oleh Pengacara pada persidangan, membantu menguatkan tindakan yang dilakukan oleh kliennya,” kata Agung.

Tidak hanya itu saja Agung menambahkan, sudut pandang hukum seorang Pengacara itu hampir sama dengan seorang Polisi, maupun Jaksa atau Hakim. Yang pasti seorang Pengacara harus mampu mempelajari terlebih dahulu perkara yang akan dihadapi.

Tidak hanya itu, seorang Pengacara harus memiliki fungsi sebagai seorang penyidik. Sehingga mengetahui duduk perkaranya seperti apa, kira-kira kesalahan dari kliennya sejauh mana, lalu kemungkinan untuk menang dalam perkara atau bahkan mungkin tidak memiliki kekuatan untuk membela diri, intinya seorang Pengacara harus paham betul.

“Mampu mencari bukti-bukti baru, yang dapat membantu kliennya, untuk meringankan hukuman,” tutur Agung.

Disinggung mengenai situasi bagaimana seorang Pengacara harus mengedepankan “Hati Nurani”, dirinya menyatakan bahwa, setiap terdakwa di persidangan yang menghadapi perkara, kemudian melihat sebenarnya terdakwa tersebut bukanlah orang yang seharusnya bertanggungjawab atas perkara tersebut. Maka harus menggunakan hati nurani, harus paham betul apakah orang yang sedang bermasalah ini yang harus bertanggung jawab terhadap perkara yang dihadapinya.

“Kalau memang benar terdakwa yang bersalah, harus sebatas apa yang mampu dibantu. Akan tetapi, apabila ada celah ternyata sebenarnya bukan si terdakwa yang bertanggungjawab atas perbuatannya, maka harus dibantu semaksimal mungkin, bagaimana si terdakwa tidak bertanggungjawab sendiri, bisa menghadirkan orang lain lagi yang harus lebih bertanggungjawab,” ujarnya.

Sebagai contoh, Agung membeberkan pada kasus-kasus yang sering dirinya temukan yakni, pada kasus tindak pidana perikanan dan pelayaran di laut. Karena kebanyakan kasus tindak pidana perikanan dan pelayaran. Dan yang seringkali dijatuhi vonis itu adalah nahkoda dan Kepala Kamar Mesin (KKM). Sementara kedua kru kapal tersebut merupakan seorang pekerja pada pemilik kapal maupun perusahaan.

Nahkoda dan KKM ini bekerja berdasarkan perintah dari perusahaan maupun pemilik kapal. Dimana membawa kapal ternyata dokumennya tidak lengkap. Dan sebenarnya ini tidak mutlak kesalahan si nahkoda.

“Ada orang yang lebih bertanggungjawab lagi, yaitu pemilik kapal atau perusahaan perkapalannya. Seharusnya yang dihukum tidaklah nahkodanya sendiri, akan tetapi termasuk lainnya yang menyuruh untuk melakukan pekerjaan tersebut,” kata Agung.

Akan tetapi menurut Agung, selama ini tidak pernah terjadi seorang pemilik kapal maupun pemilik perusahaan perkapalan dikenakan hukuman terhadap tindakan pelanggaran pelayaran yang terjadi di laut. Dan sebagai seorang Pengacara harus berani menyampaikan hal tersebut.

“Keputusannya hampir seluruh nahkoda maupun KKM yang ada di lapangan pada saat itu, dikenakan sanksi pidana, kurungan dan denda. Kenapa nahkoda dan KKM sendiri yang harus menanggung. Sementara pemilik kapal maupun perusahaan yang telah memerintahkan (memberikan pekerjaan), tidak pernah sama sekali dikenakan sanksi pidana,” tandasnya.

“Hukum Harus Ditegakkan Sampai Langit Runtuh (Hingga Dunia Kiamat), Hukum Untuk Menciptakan Tata Masyakarat Yang Tertib (Raden Agung Gunawan, S.H., M.H).

“Pemerintah Tanpa Masyarakat, Bukan Suatu Negara, Masyarakat pun Tanpa Pemerintah Bukan Negara, Harus Seimbangan, Sama Halnya Seperti Hukum,”

“Hukum Mempunyai Kesamaan Dengan Dua Sisi Mata Pedang,”

Aman

FANINDO