
WARTAKEPRI.co.id, KARIMUN – Founder NGO Akar Bhumi Indonesia (ABI), Hendrik Hermawan menyebut, apakah reklamasi diperbolehkan? Ya ada aturan perizinan reklamasi.
Namun menurutnya dengan catatan memenuhi syarat dan ketentuan yang diwajibkan.
“Kami akan mendalami apakah PT Saipem Indonesia Karimun Branch, sudah memiliki izin reklamasi dan Kajian Lingkungan Strategis, mengingat reklamasi dapat mempengaruhi ekosistem dan hajat hidup masyarakat pesisir,” terang Hendrik Jum’at (25/11/2022).
Jika nantinya ditemukan perusahaan raksasa asal Italia, Eropa tersebut tidak memiliki izin, maka kata Hendrik dapat dijerat dengan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Tidak hanya itu saja, juga dijerat dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, UU No.27 tahun 2007 junto UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah No.22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” paparnya.
Masih kata Hendrik, ditambah lagi dengan Peraturan Menteri KKP Republik Indonesia, No.25 tahun 2019 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Yang menjadi pertanyaan mendasar, mungkinkah Gubernur mengeluarkan izin reklamasi, sedangkan hingga saat ini Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWPPPK) belum kunjung selesai dibahas oleh DPRD Provinsi Kepri,” pungkasnya.
Karena menurutnya, sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil untuk pelaksanaannya di bawah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dirjen Pengelolaan Ruang Laut).
Hendrik menambahkan, adapun untuk luas dibawah 100 hektar menjadi kewenangan Gubernur, dan selanjutnya untuk diatas angka tersebut adalah kewenangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Reklamasi ataupun pembangunan di kawasan pantai, akan secara langsung menyentuh urat nadi masyarakat pesisir yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan,” beber Hendrik.
Kerusakan dan pencemaran di pantai sendiri, kata Hendrik akan sangat
mempengaruhi kesehatan laut yang menjadi fishing ground (area tangkap nelayan).
Udang yang menjadi andalan hasil tangkapan bagi para nelayan semakin sulit ditemukan, akibat kerusakan biota laut.
Ditambah lagi dengan kerusakan ekosistem mangrove, menjadi habitat bagi kehidupan di laut untuk bertelur, jika hilang maka ikan, udang dan kepiting akan semakin langka (musnah).
“Karena itulah pelaksanaan reklamasi diatur dengan rinci dalam Permen LHK No.25 tahun 2019, demi meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan,” sebut Hendrik.
Ia menyebut, terdapat empat point terkait kegiatan dalam mendampingi Forum Peduli Kesejahteraan Lingkungan (FPKL) hingga hari Jum’at (25/11/2022).
“Perlindungan lingkungan telah menjadi atensi utama Komisi IV DPR RI,
yang mana pada awal tahun 2022 juga telah dibentuk Panitia Kerja (PanJa)
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup,” ucap Hendrik.
Sembari menunggu salinan dokumen lingkungan menjadi panduan tentang pelaksanaan atas perizinan, pihaknya (perusahaan) akan mengetahui apa yang mesti dilakukan disaat melakukan usaha.
“Akar Bhumi Indonesia sendiri akan menunggu hasil permintaan warga, terkait salinan copy dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pejabat Pengelola Informasi Dan Dokumentasi (PPID), melalui Diskominfo,” tegasnya.
Untuk itu, kata Hendrik jika ada pihak yang dirugikan, maka kompensasi menyangkut dampak menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menentukannya.
“Akar Bhumi Indonesia sendiri ingin melihat keseriusan pemerintah daerah
dalam upaya pengawasan dan penegakan hukum atas kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan. Jika tidak, maka kita akan menginisiasi KLHK RI dan Komisi IV DPR RI,” tegasnya.(Aman)