Founder Akar Bhumi Hendrik Hermawan Terkejut dengan Gudang Packaging Arang di Batam

Gudang packaging arang resmi beroperasi. Bahan baku diambil hanya dari wilayah yang mempunyai izin pemanfaatan hasil hutan dan izin premier pengolahan hasil hutan, yakni Kabupaten Karimun dan Kabupaten Lingga.(Foto: Istimewa)

WARTAKEPRI.co.id, BATAM – Koperasi HKTI Tamara Bumi Indonesia kini melebarkan sayap.Koperasi ini mendapat kritikan dari Akar Bumi Indonesia di Batam

Koperasi besutan Mayjen TNI (Purn) Winston P. Simanjuntak, yang bergerak di bidang usaha arang kayu bakau tersebut, gudangnya diresmikan pada Jum’at (21/7/2023).

Gudang packaging arang sendiri terletak di bilangan Zore, Jembatan IV Barelang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, tersebut guna meningkatkan ekonomi kerakyatan.

Harris Nagoya

Ketua Koperasi HKTI Tamara Bumi Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, Syamsul menyebut, seluruh aktifitas di gudang tersebut hanya packaging saja. Bahan baku diambil hanya dari wilayah yang mempunyai izin pemanfaatan hasil hutan dan izin premier pengolahan hasil hutan.

“Untuk di wilayah Kepulauan Riau sendiri, hanya ada 2 wilayah yang memiliki izin tersebut, yakni Kabupaten Karimun dan Kabupaten Lingga,” terang Syamsul, Selasa (22/8/2023).

Sehingga kadepanya kata Syamsul, gudang packaging tersebut menjadi pilot project dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan hutan oleh koperasi HKTI Tamara Bumi Indonesia.

“Menjadi proyek percontohan, sehingga dapat memberikan dampak yang berkesinambungan dan berkelanjutan sekaligus mampu memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir,” paparnya.

Syamsul menambahkan, berawal dari keprihatinan bahwa, ada hal-hal regulasi yang diperbolehkan dan dilakukan terdahulu, menyalagunakan dan tidak paham sehingga menimbulkan permasalahan.

“Dari kacamata koperasi HKTI Tamara Bumi Indonesia sendiri, apa yang bisa menjadi potensi dan tentunya mampu mengembangkan ekonomi kerakyatan,” ucap Syamsul.

Tidak hanya itu saja, pihaknya juga mematuhi dan mentaati seluruh peraturan dan persyaratan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan alam.

“Kami sudah menganalisa dari segi peraturannya, apa-apa saja yang diperbolehkan, apa yang tidak, jadi semuanya ini kan sudah jelas,” pungkasnya.

Dan selama berpuluh-puluh tahun itulah, kata Syamsul masyarakat pesisir bergantung hidup (bermatapencaharian) pada usaha bakau.

“Jadi masyarakat pesisir melakukan potong tanam, sehingga masyarakat menjaga benar-benar lingkungan sekitar,” sebut Syamsul.

Dari situasi dan kondisi terkini, kata Syamsul dengan mengantongi Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), masyarakat melalui koperasi diharuskan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kehutanan.

“Barulah masyarakat diperbolehkan untuk melakukan pengolahan kayu bakau tersebut,” paparnya.

Dan untuk sementara ini, masih kata Syamsul pengolahan arang bakau ditutup. Dari penutupan tersebut, tentunya masyarakat menjerit dan juga mempunyai keluhan-keluhan.

“Ini masih ada sisa-sisa kayu bakau, akan tetapi ditutup tidak boleh dikeluarkan. Sementara anak dan istri setiap hari harus makan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” kenang Syamsul menirukan ucapan salah seorang warga.

Tentunya kata Syamsul koperasi tidak melihat sisi keuntungan saja, tetapi bagaimana memberikan manfaat kepada masyarakat pesisir, karena dari situlah bergantung hidup.

“Untuk itu kami membantu untuk mendistribusikan produk ke pasar agar masyarakat dapat bertahan hidup,” ujarnya.

Sehingga pihaknya menekankan agar dapat mengedukasi kepada masyarakat pesisir untuk mengelola hasil hutan bukau, dengan tetap memperhatikan dampak dari lingkungan hidup.

“Koperasi tidak semata-mata mencari dari sisi keuntungan saja, akan tetapi juga mensosialisasikan kepada masyarakat bagaimana tetap menjaga kelestarian lingkungan. Untuk selalu mentaati peraturan, kalau regulasi tidak diperbolehkan ya sudah. Tetap dengan mencari solusi lainnya,” terang Syamsul.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor S.296/PHL/IPHH/HPL.4/3/2023, sehubungan dengan pemberian layanan hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), khususnya bagi para pelaku usaha yang melakukan pemanfaatan kayu bakau. Pelaksanaan pemanfaatan kayu bakau perlu dilakukan evaluasi untuk mengurangi dampak lingkungan.(Foto: Istimewa)

Sementara itu, Founder Akar Bhumi Indonesia (ABI) Hendrik Hermawan terkejut dengan diresmikannya gudang packaging arang di Batam.

Sangat miris, pasalnya pada tanggal 25 Januari 2023 lalu, tidak jauh dari diresmikan gudang packaging arang, komisi IV DPR RI melakukan sidak bersama Gakkum KLHK, telah menyegel dan menyita beberapa gudang arang bakau.

“Karena memang kami dari ABI sedang gencar-gencarnya dalam upaya menghentikan perusakan lingkungan mangrove, pembuatan arang berbahan kayu bakau,” ujar Hendrik.

Untuk itu pihaknya menyesalkan dengan diresmikannya gudang packaging arang, ditengah-tengah ABI meminimalisir dampak deforestasi di kawasan hutan dan diluar kawasan, akibat penebangan di kawasan hutan mangrove.

“Yang pada akhirnya pertahanan wilayah pesisir menjadi lemah dan para nelayan pun menggantungkan hidupnya pada wilayah pesisir tersebut,” ujar Hendrik.

Tentu pihaknya akan terus mengawal dan mengawasi. Dimana program pemerintah pusat harus diselaraskan dengan pemerintah daerah.

“Hal ini sudah lama tidak dipantau dan dibiarkan begitu saja oleh pemerintah terkait peredaran kayu bakau yang dilindungi,” tegasnya.

Hal ini tentunya kata Hendrik mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Dan tentunya jangan sampai alih-alih menjadikan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat.

“Intinya bahwa, jangan sampai koperasi ini menjadi kedok dari kapitalis ataupun mafia yang mengeruk keuntungan dari kerusakan ekosistem mangrove,” pesan Hendrik.

Komisi IV DPR RI saat melakukan sidak bersama Gakkum KLHK, menyegel dan menyita beberapa gudang arang bakau, pada tanggal 25 Januari 2023.(Foto: Istimewa)

Karena masih kata Hendrik, mangacu pada surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor S.296/PHL/IPHH/HPL.4/3/2023, sehubungan dengan pemberian layanan hak akses SIPUHH khususnya bagi para pelaku usaha yang melakukan pemanfaatan kayu bakau.

“Pelaksanaan pemanfaatan kayu bakau perlu dilakukan evaluasi untuk mengurangi dampak lingkungan,” tutur Hendrik.

Tidak hanya itu saja, kata Hendrik berdasarkan data SIPUHH selama periode Tahun 2016 sampai dengan saat ini, tercatat sebanyak 62 pelaku usaha (user) yang memproduksi kayu bakau.

Sebagaimana data terlampir, dengan perincian persetujuan perhutanan sosial 9 user, PBPH 4 user, PKKNK 19 user serta pemegang hak atas tanah sebanyak 30 User.

“Berkenaan dengan hal-hal tersebut, hak akses SIPUHH pada pelaku usaha tersebut ditutup sementara oleh KLHK melalui Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari sampai dengan adanya evaluasi lebih lanjut,” tandasnya.(Aman)

Google News WartaKepri DPRD BATAM 2025