WARTAKEPRI.co.id – Pada 8 November 2025 lalu, publik menyaksikan hadirnya militer dalam operasi penertiban tambang ilegal yang dilakukan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di Desa Lubuk Lingkuk dan Desa Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung.
Operasi tersebut dipimpin langsung oleh Mayjen TNI FBS, seorang perwira aktif dari Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Dalam operasi tersebut, Satgas pimpinan Mayjen FBS dilaporkan menyita 12 unit excavator, 2 bulldozer, dan sejumlah peralatan tambang lainnya, serta menertibkan aktivitas penambangan di atas lahan seluas lebih dari 315 hektare.
Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial memandang bahwa pelibatan TNI dalam Satgas PKH merupakan bentuk penyimpangan serius dari mandat konstitusional dan fungsi dasar TNI sebagai alat pertahanan negara.
Keterlibatan TNI dalam operasi penertiban tambang ilegal menunjukkan kecenderungan kembalinya militer ke dalam fungsi-fungsi non-pertahanan, terutama dalam ranah penegakan hukum dan administrasi pemerintahan sipil.
Keterlibatan ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan negara hukum. Penting untuk diingat bahwa TNI bukanlah aparat penegak hukum, melainkan alat pertahanan negara yang seharusnya berfokus pada ancaman perang yang semakin kompleks.
Praktik semacam ini sesungguhnya menunjukkan kembalinya cara pandang lama yang menempatkan militer seolah-olah sebagai aktor serba bisa yang mampu melakukan segala hal, termasuk melakukan penegakan hukum.
Lebih lanjut, Pasal 11 ayat (2) huruf c Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan secara tegas menugaskan Satgas PKH untuk melaksanakan fungsi penegakan hukum.
Dengan demikian, pelibatan TNI di dalam Satgas PKH yang melakukan operasi penertiban dan penyitaan alat tambang ilegal secara nyata bukan merupakan pelaksanaan pertahanan, melainkan fungsi penegakan hukum.
Hal ini jelas melampaui kewenangan TNI sebagai alat pertahanan negara karena telah melakukan penegakan hukum yang sepenuhnya merupakan domain aparat penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, Kementerian Kehutanan, dan lembaga sipil lainnya.
Kami memandang, keterlibatan TNI dalam Satgas PKH juga menyalahi tugas pokok TNI itu sendiri sebagaimana termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UU TNI yang tegas menyatakan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman eksternal.
Memang Pasal 7 ayat (2) UU TNI memungkinkan TNI terlibat dalam urusan sipil. Namun, keterlibatan itu sifatnya sementara dan dalam rangka membantu institusi sipil seperti pemerintah dan aparat penegak hukum, bukan malah mengambil alih tugas pemerintah ataupun aparat penegak hukum seperti yang terjadi pada 8 November lalu di Bangka Belitung.
“Kami menilai keterlibatan TNI dalam urusan tambang beberapa saat lalu ini jelas merupakan bentuk penyimpangan terhadap prinsip distingsi urusan sipil dan militer serta menimbulkan kekacauan hukum,” tambah Ardi Manto.
Tindakan penyitaan dan penertiban oleh aparat TNI dalam operasi tambang bukan hanya tidak sah secara hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan sengketa hukum di masa depan.
Terlebih, sistem peradilan yang berlaku bagi TNI (Peradilan Militer) hingga kini belum direformasi. Penting untuk diingat, berbeda dengan sipil yang kebijakannya bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hingga kini sistem peradilan militer belum menyediakan mekanisme komplain yang efektif seperti PTUN bagi warga negara yang terdampak oleh kebijakan yang diambil oleh pejabat TNI seperti dalam Satgas PKH tersebut. Kondisi ini semakin mengancam hak warga negara seandainya ingin mencari keadilan dan justru memperkuat impunitas.
Berdasarkan uraian di atas, Imparsial mendesak:
1. Presiden Republik Indonesia untuk segera menarik TNI dari Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dan memastikan bahwa seluruh bentuk operasi penertiban tambang ilegal dilakukan oleh aparat penegak hukum sipil sesuai amanat konstitusi.
2. DPR RI agar melakukan pengawasan ketat terhadap penyalahgunaan fungsi militer dalam ranah sipil, serta memastikan agenda reformasi TNI berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
3. Panglima TNI untuk segera melakukan evaluasi dan penegakan disiplin terhadap perwira aktif yang terlibat dalam operasi penegakan hukum, karena tindakan tersebut melampaui batas kewenangan institusi militer dan melanggar UU TNI.
4. Presiden dan DPR segera mereformasi peradilan militer dengan merevisi UU Peradilan Militer.(*/Siaran Pers Imparsial)

























