WARTA KEPRI.co.id – Menjadi seorang nelayan masih dianggap sebagai profesi yang tidak utama bagi masyarakat Indonesia. Padahal, dengan kekayaan laut yang sangat luas, ditambah program pemerintah saat ini adalah menjadikan Ekonomi Maritim, sudah semestinya profesi ini menjadi pilihan utama bagi pemuda Indonesia, dan termasuk bagi pemuda di Kepri.
Jika menyaksikan program televisi dokumeter luar negeri, anak-anak muda di Amerika kini tengah giat belajar dan meneliti untuk menjadi seorang nelayan, tentu dengan menggunakan teknologi yang terbaik saat ini.
Berkaca dari kondisi itu Rikyrinovsk dan kawan-kawan mencoba ikut berlayar dengan nelayan tangkap Natuna, yang memanfaatkan kapal jenis Bagan. Berikut kutipan dari catatan perjalanannya.
Cuaca di lepas Pantai Selat Lampa, Kecamatan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri, Sabtu (26/3/2016) malam terlihat cerah. Suatu pertanda aman untuk coba berlayar dengan nelayan.
Berada di laut lepas, tentu udara dingin dan hembusan angin kencang serasa menembus tubuh. Bagi yang belum berpengalaman, akan terasa sangat dingin. Namun, beda dengan empat orang nelayan Bagan yang akan menjaring rejeki di malam itu.
Bagi mereka terlihat seperti biasa-biasa saja. Mereka duduk meneguk kopi hangat, menikmati kretek sambil menunggu bulan tenggelam untuk menurunkan jaring.
“Tidak bisa menurunkan jaring kalau cahaya bulan masih menyinari laut. Ikan-ikan bertebaran mengikuti cahaya bulan dan tak akan menyatu mendekati cahaya lampu bagan,” ujar S. Regar (38) nahkoda Bagan Kapal Motor Lautan Induak Bareh, perantau kelahiran Medan.
Panjang lebar Regar menjelaskan dengan profesinya. Terutama Bagan yang kini menjadi sarana kapal yang paling ampuh menjaring ikan.
Menurut Regar, Bagan digunakan turun-temurun sebagai alat penangkap ikan di malam hari oleh sekelompok masyarakat di Natuna Pulau.
Bagan terbuat dari perahu panjang berkapasitas 3 ton, dilengkapi tangan-tangan dari kayu yang terikat oleh kawat sling baja serta lampu penerang sebagai cahaya tambahan.
Berbeda dengan bagan tancap yang sering dijumpai di lepas pantai, bagan berperahu ini disebut bagan bergerak, karena dapat dipindahkan ke berbagai tempat, dipandu oleh perahu bermesin tempel 40 PK (tenaga kuda) berbahan bakar premium.
Bak cadik yang membentang sepuluh meter persegi, di atasnya terdapat rumah kecil tempat bernaung genset, tiga katrol pengontrol tali terbuat dari kayu bulat, dua untuk jaring dan satu untuk jangkar.
Cahaya lampu di atas bagan sangat terang, bersumber dari 21 bohlam jari dari 20 watt sampai 100 watt yang dinyalakan mesin genset berkekuatan 3 kilo watt, berbahan bakar solar. Empat lampu disorot khusus ke dalam air dinyalakan untuk mengundang ikan berkumpul.
Jaring dilepas perlahan pada kedalaman tertentu. Setelah posisinya di empat penjuru perahu stabil, lampu sorot dinyalakan. Mata para awak bagan pun tertuju ke bawah air laut. Mereka memperhatikan jika ada ikan besar yang masuk ke jaring, maka lampu sorot langsung dipadamkan agar ikan pengganggu itu keluar. Kehadiran ikan besar itu hanya akan mengusir ikan-ikan kecil yang telah berkumpul dalam jaring.
Hasil Tangkap Rp 4 Juta
Menurut R.Regar, pada saat sinar bulan terang, harga ikan dipastikan mahal, karena sulit ditangkap. Dan itu merupakan masa paceklik.
Tapi nelayan bagan tetap saja bersemangat berburu rejeki. Mereka tetap saja melaut selama 13 malam pertama sinar bulan, walau sekitar 2 jam.
” Memasuki malam ke-14 hingga ke-15, bagan ditarik ke tepi dan semua aktivitas terhenti,”ujar Regar.
R Regar menjalani usaha Bagan atas kepercayan diberikan pemilik Bagan Pak Aprimel (41), adalah Pemilik Bagan KM Lautan Induak Bareh.
Regar memimpin empat anggotanya yakni Yanto, Dani, Nasution dan Buyung. Mereka berbagi tugas, ada yang melepas dan menarik jaring, jangkar, membenahi jaring dan pemberat, mengontrol air pendingin mesin genset, dan sebagainya.
Seorang diantaranya bertugas ganda sebagai koki, memasak nasi menggunakan kompor minyak, menyiapkan lauk ikan atau cumi hasil tangkapan untuk bersantap malam, dibakar atau direbus seadanya, lalu dihidangkan dengan cabai dan irisan jeruk.
Malam itu mereka disertai Aprimel, juragan yang disapa Udo Mel, pemilik bagan dan peralatan tangkap. Menurut Regar, hujan dan ombak bukan masalah bagi nelayan. Yang jadi masalah adalah sinar bulan dan itulah masa paceklik. Saat terang bulan, nelayan akan sulit menangkap ikan.
Kalau lagi beruntung, pada cuaca gelap dan arus laut tenang, nelayan bisa menjaring sampai 2 ton jenis ikan lure, tembang dan layang. Hasil tangkapan dijual kepada penampung pembeli. Satu ember berisi 20 kg dijual seharga Rp 180 ribu sampai Rp 270 ribu.
” Semalam bisa mengantongi sekitar Rp 4 juta. Hasil ini dibagi dua, sebagian untuk peralatan dan modal bahan bakar, sebagian untuk awak bagan yang berjumlah empat orang dan pemilik Bagan,” cerita Aprimel.
Walau perjalanan semalam saja, telah tergambarkan kalau menjaring ikan di lepas laut menjadi sumber mata pencarian yang akan menggerakan roda ekonomi di Natuna. Hendaknya, pemuda Natuna mulai alih jadi nelayan profesional. Karena, pemerintah pusat berjanji akan mengembangkan industri perikanan di wilayah Natuna atau Anambas.
Masih berharap jadi pegawai negeri kah, dan tiba-tiba orang yang berprofesi nelayan adalah warga pendatang. Besar harapan, pemerintah kabupaten cepat merespon kondisi ini, sebelum terlamba. (rik/ded)