WARTAKEPRI.co.id, JAKARTA – Tokoh Nasional, Oesman Sapta Odang, yang akrab dipanggil OSO, memastikan diri hadir dalam acara Malam Budaya Manusia Bintang di Hotel Aryaduta, Jakarta, Sabtu (26/7/2017) mendatang.
Malam Budaya Manusia Bintang merupakan perhelatan rutin sebulan sekali yang digagas kelompok Rakyat Merdeka Online (RMOL), perusahaan media siber berbasis berita politik pertama di tanah air.
Seperti biasa, Malam Budaya yang dilandasi semangat merawat keindonesiaan dan kebhinnekaan itu menampilkan kolaborasi Tokoh Bangsa dan Seniman Nasional, sesuai tajuk yang sedang diusung.
Pemimpin Umum RMOl, Teguh Santosa, mengatakan, akhir pekan ini Malam Budaya mengangkat tema “Tribute to Feril”. Feril Nawalk, atau sering disapa Bung Feril, tak lain wartawan politik senior ibukota.
Malam Lebaran lalu, jurnalis pendiri Forum Diskusi Wartawan Politik ini meninggal dunia di usia 45 tahun. “Semua masih tak percaya Bung Feril meninggalkan kita. Dedikasinya membela rakyat, membekas dalam dan menular,” kata Teguh.
Ia menjelaskan, Tokoh dan Seniman yang diundang mengisi Malam Budaya Manusia Bintang “Tribute to Feril” ialah mereka yang terinspirasi oleh kegigihan dan keluwesan Feril Nawalk dalam menghayati profesi jurnalistiknya.
Untuk Tokoh Nasional, sebut Teguh, nama yang langsung muncul di benak siapa lagi kalau bukan OSO. OSO bersahabat baik dengan alm Feril. OSO merupakan bintang politik paling terang di Indonesia saat ini. Feril selamanya akan dikenang sebagai bintangnya wartawan politik.
“Dulu kalau melihat almarhum kongkow dengan OSO, pasti besoknya ada kegemparan besar di jagat politik kita,” kenang Teguh yang juga Ketua Umum Media Siber Indonesia (SMSI) ini.
Di malam Budaya nanti, OSO akan memberikan tali kasih untuk keluarga Feril. Waktu Feril meninggal, OSO juga datang ke rumah duka. Persahabatan dua manusia bintang yang tak pernah lekang.
Bintang Tanah Melayu
Adapun dari kalangan Seniman Nasional, kata Teguh Santosa, di antaranya menghadirkan bintang Tanah Melayu yang namanya sering bikin rancu orang Jakarta. Ramon Damora. Sebut nama Ramon Damora di lingkungan orang kreatif, biasanya disusul pertanyaan, ini Ramon Damora wartawan atau Ramon Damora sastrawan?
” Dulu saya pun mengira dia dua orang berbeda, karena dalam dua ranah yang berlainan itu sama-sama mengakar kualitas nya,” urai Teguh.
Di panggung-panggung atau pergaulan nasional yang dia ada di sana, Ramon cepat menonjol. Bahasa tubuh dan bahasa tulisannya sama persis, sama-sama penuh kejutan.
” Selintas kita berpikir ‘orang ini pemberani tapi kok ngasal ya’, nah setelah dicerna lagi lama-lama, baru kita tersadar, wah rupanya dari tadi kita digiringnya secara cerdas untuk bertanggung jawab penuh menyetujui ide-ide radikalnya,” papar Teguh.
Teguh mengisahkan, mengapa wartawan penuh dan bertahan di ruangan Konvensi Media Nasional di Ambon bulan Februari lalu? Bukan semata karena pembicara nya Sujiwo Tejo, Garin Nugroho, atau Menteri Luhut Panjaitan, tapi wartawan juga menunggu-nunggu sang moderator, Ramon Damora, tiba-tiba berkata.
” Kalau ikan asin jadi ikan kelamin, lalu presiden ngasih sepeda, itu boleh dianggap mendidik. Tapi kalau Pak Jokowi salah sebut ‘aku CINTA padamu’ jadi ‘aku CINA padamu’ Tiongkok ngasih apa?”
Teguh juga tak lupa saat baru-baru ini bersama 10 pemimpin media massa Indonesia, termasuk Ramon Damora, diundang Asosiasi Wartawan Korea Selatan mengunjungi negara mereka.
Di hari terakhir, tuan rumah mengajak minum teh perpisahan. Satu demi satu wartawan Korea bergiliran menyampaikan testimoni mengenai indahnya persaudaraan, dalam Bahasa Korea.
Tibalah giliran rombongan wartawan Indonesia. Tak ada persiapan. Panik dan saling pandang. Acara tradisional Korea itu spontan begitu saja digelar. Tahu apa yang terjadi?
Tiba-tiba, cerita Teguh, tanpa komando semua wartawan serentak menoleh ke arah Ramon yang selalu suka duduk di kursi belakang, memandang wajahnya dengan tatapan memelas, berharap akan ada kejutan-kejutan hebat dari dirinya untuk mencairkan suasana.
Ramon tersenyum. Membuka pembicaraan dengan kalimat berbahasa Inggris yang kira-kira artinya ‘hai, Indonesia tidak akan bicara apapun malam ini, Indonesia hanya ingin mendengar kalian bernyanyi’ lalu mulailah dia menyanyikan Arirang, lagu klasik Korea paling menggetarkan yang dihafal oleh seluruh rakyatnya.
Ramon Damora, kenang Teguh Santosa, kala itu dengan sangat tenang menyanyikan bait-bait awal lagu itu, fasih sekali. Berikutnya dari tengah sampai akhir, ruangan minum teh sudah penuh dengan gemuruh suara para wartawan Korea yang menyanyikan Arirang bersama-sama, sambil bertepuk tangan.
“Sampai hari ini saya dan rekan-rekan pimred yang lain saat itu, dari Aceh, Kalimantan, Jakarta, Jawa Barat, Sumbar, Medan, Semarang, masih saja tak bosan-bosan membahas momen itu. Salah satu momen terbaik kami di Korea,” terang Teguh.
Ia mengajak publik Jakarta, terutama yang berasal dari Tanjungpinang, tanah bakti Ramon Damora, menyaksikan aksi panggung Ramon akhir pekan ini, Sabtu (29/7), membacakan puisi mengenai balada seorang wartawan yang mati membela rakyatnya. (er)
Malam Budaya Manusia Bintang merupakan perhelatan rutin sebulan sekali yang digagas kelompok Rakyat Merdeka Online (RMOL), perusahaan media siber berbasis berita politik pertama di tanah air.
Seperti biasa, Malam Budaya yang dilandasi semangat merawat keindonesiaan dan kebhinnekaan itu menampilkan kolaborasi Tokoh Bangsa dan Seniman Nasional, sesuai tajuk yang sedang diusung.
Pemimpin Umum RMOl, Teguh Santosa, mengatakan, akhir pekan ini Malam Budaya mengangkat tema “Tribute to Feril”. Feril Nawalk, atau sering disapa Bung Feril, tak lain wartawan politik senior ibukota.
Malam Lebaran lalu, jurnalis pendiri Forum Diskusi Wartawan Politik ini meninggal dunia di usia 45 tahun. “Semua masih tak percaya Bung Feril meninggalkan kita. Dedikasinya membela rakyat, membekas dalam dan menular,” kata Teguh.
Ia menjelaskan, Tokoh dan Seniman yang diundang mengisi Malam Budaya Manusia Bintang “Tribute to Feril” ialah mereka yang terinspirasi oleh kegigihan dan keluwesan Feril Nawalk dalam menghayati profesi jurnalistiknya.
Untuk Tokoh Nasional, sebut Teguh, nama yang langsung muncul di benak siapa lagi kalau bukan OSO. OSO bersahabat baik dengan alm Feril. OSO merupakan bintang politik paling terang di Indonesia saat ini. Feril selamanya akan dikenang sebagai bintangnya wartawan politik.
“Dulu kalau melihat almarhum kongkow dengan OSO, pasti besoknya ada kegemparan besar di jagat politik kita,” kenang Teguh yang juga Ketua Umum Media Siber Indonesia (SMSI) ini.
Di malam Budaya nanti, OSO akan memberikan tali kasih untuk keluarga Feril. Waktu Feril meninggal, OSO juga datang ke rumah duka. Persahabatan dua manusia bintang yang tak pernah lekang.
Bintang Tanah Melayu
Adapun dari kalangan Seniman Nasional, kata Teguh Santosa, di antaranya menghadirkan bintang Tanah Melayu yang namanya sering bikin rancu orang Jakarta. Ramon Damora. Sebut nama Ramon Damora di lingkungan orang kreatif, biasanya disusul pertanyaan, ini Ramon Damora wartawan atau Ramon Damora sastrawan?
” Dulu saya pun mengira dia dua orang berbeda, karena dalam dua ranah yang berlainan itu sama-sama mengakar kualitas nya,” urai Teguh.
Di panggung-panggung atau pergaulan nasional yang dia ada di sana, Ramon cepat menonjol. Bahasa tubuh dan bahasa tulisannya sama persis, sama-sama penuh kejutan.
” Selintas kita berpikir ‘orang ini pemberani tapi kok ngasal ya’, nah setelah dicerna lagi lama-lama, baru kita tersadar, wah rupanya dari tadi kita digiringnya secara cerdas untuk bertanggung jawab penuh menyetujui ide-ide radikalnya,” papar Teguh.
Teguh mengisahkan, mengapa wartawan penuh dan bertahan di ruangan Konvensi Media Nasional di Ambon bulan Februari lalu? Bukan semata karena pembicara nya Sujiwo Tejo, Garin Nugroho, atau Menteri Luhut Panjaitan, tapi wartawan juga menunggu-nunggu sang moderator, Ramon Damora, tiba-tiba berkata.
” Kalau ikan asin jadi ikan kelamin, lalu presiden ngasih sepeda, itu boleh dianggap mendidik. Tapi kalau Pak Jokowi salah sebut ‘aku CINTA padamu’ jadi ‘aku CINA padamu’ Tiongkok ngasih apa?”
Teguh juga tak lupa saat baru-baru ini bersama 10 pemimpin media massa Indonesia, termasuk Ramon Damora, diundang Asosiasi Wartawan Korea Selatan mengunjungi negara mereka.
Di hari terakhir, tuan rumah mengajak minum teh perpisahan. Satu demi satu wartawan Korea bergiliran menyampaikan testimoni mengenai indahnya persaudaraan, dalam Bahasa Korea.
Tibalah giliran rombongan wartawan Indonesia. Tak ada persiapan. Panik dan saling pandang. Acara tradisional Korea itu spontan begitu saja digelar. Tahu apa yang terjadi?
Tiba-tiba, cerita Teguh, tanpa komando semua wartawan serentak menoleh ke arah Ramon yang selalu suka duduk di kursi belakang, memandang wajahnya dengan tatapan memelas, berharap akan ada kejutan-kejutan hebat dari dirinya untuk mencairkan suasana.
Ramon tersenyum. Membuka pembicaraan dengan kalimat berbahasa Inggris yang kira-kira artinya ‘hai, Indonesia tidak akan bicara apapun malam ini, Indonesia hanya ingin mendengar kalian bernyanyi’ lalu mulailah dia menyanyikan Arirang, lagu klasik Korea paling menggetarkan yang dihafal oleh seluruh rakyatnya.
Ramon Damora, kenang Teguh Santosa, kala itu dengan sangat tenang menyanyikan bait-bait awal lagu itu, fasih sekali. Berikutnya dari tengah sampai akhir, ruangan minum teh sudah penuh dengan gemuruh suara para wartawan Korea yang menyanyikan Arirang bersama-sama, sambil bertepuk tangan.
“Sampai hari ini saya dan rekan-rekan pimred yang lain saat itu, dari Aceh, Kalimantan, Jakarta, Jawa Barat, Sumbar, Medan, Semarang, masih saja tak bosan-bosan membahas momen itu. Salah satu momen terbaik kami di Korea,” terang Teguh.
Ia mengajak publik Jakarta, terutama yang berasal dari Tanjungpinang, tanah bakti Ramon Damora, menyaksikan aksi panggung Ramon akhir pekan ini, Sabtu (29/7), membacakan puisi mengenai balada seorang wartawan yang mati membela rakyatnya. (er)
Tulisan : rilis