WARTAKEPRI.CO.ID – Batam, sebuah kawasan yang telah menjadi simbol kemajuan industri dan pariwisata Indonesia, kembali menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk Konflik Pertanahan dan Penanganan Dampak Sosial Proyek Strategis Nasional Pulau Rempang. Diskusi ini digelar di Aula Prof. DR. H. Baharuddin Lopa, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, dua tahun lalu, Senin (23/10/2023). dilansir Wartakepri.co.id dari halaman Unhas.TV. jum’at (21/2/2025).

Dalam dialog hingga semakin menguat, dimana Dr. Sudirman Saad, S.H., M.H., Deputi Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi BP Batam, hadir sebagai pembicara tunggal. Dalam paparannya, ia menegaskan bahwa sejak dibentuknya Otorita Batam pada 1971, kawasan ini memang dirancang sebagai pusat industri dan pariwisata, bukan untuk permukiman.
“Seluruh tanah di wilayah Otorita Batam menjadi hak pengelolaan Otorita Batam, termasuk Pulau Batam, Pulau Galang, Pulau Rempang, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya,” ujarnya.
Namun, Sudirman juga menekankan bahwa pembangunan Batam tidak pernah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan penghargaan terhadap budaya lokal. Ia mengingatkan peran penting almarhum BJ Habibie, yang saat menjabat sebagai Kepala Otorita Batam, membangun enam jembatan penghubung antarpulau.
Jembatan-jembatan itu dinamai sesuai tokoh-tokoh Melayu, seperti Raja Ali Haji, sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan budaya Melayu.
“Tidak benar jika dikatakan pemerintah tidak memperhatikan Suku Melayu. Nama-nama jembatan itu adalah bukti nyata penghargaan kita terhadap sejarah dan budaya mereka,” kata Sudirman dengan penuh semangat.
Meski begitu, perkembangan Batam sebagai kawasan industri dan pariwisata telah menarik banyak pendatang. Hal ini menimbulkan dinamika sosial yang kompleks, terutama terkait penggunaan lahan. Sudirman menjelaskan, meski banyak orang menetap di Batam, hal itu tidak mengubah tujuan utama kawasan ini sebagai pusat industri dan pariwisata.
Lebih lanjut, Sudirman menyoroti pentingnya pengembangan Rempang sebagai Eco City. Menurutnya, proyek ini bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi juga upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
“Selat di sekitar Batam adalah salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia. Namun, yang menikmati kemakmuran justru Singapura. Kita harus berubah. Eco City adalah langkah untuk kebaikan kita semua,” tegasnya.
Sebagai seorang akademisi yang telah mengabdi sebagai dosen di Fakultas Hukum Unhas sejak 1987, Sudirman memahami betul pentingnya melibatkan generasi muda dalam pembangunan. Ia berpesan kepada para mahasiswa yang hadir, “Adik-adik mahasiswa harus paham, ini tentang masa depan kita bersama. Kita harus berpikir jangka panjang, untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.”

Profil Singkat Dr. Sudirman Saad
Dr. Sudirman Saad, S.H., M.H., adalah sosok yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pengembangan hukum, kelautan, dan pembangunan berkelanjutan. Riwayat pendidikannya yang gemilang, dari S1 Ilmu Hukum Unhas hingga S3 Ilmu Hukum UGM, serta pengalamannya di LEMHANAS RI PPRA XLV, menjadikannya figur yang dihormati di bidangnya.
Sepanjang karirnya, Sudirman telah menjabat berbagai posisi strategis, mulai dari Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil di Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga Komisaris Utama PT Garam. Penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 dan 20 Tahun dari Presiden RI menjadi bukti dedikasinya yang tak kenal lelah.
Kini, sebagai Deputi Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi BP Batam, Sudirman terus berupaya mewujudkan visi pembangunan Batam yang berkelanjutan, inklusif, dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Pembangunan Batam dan Rempang sebagai Eco City adalah cita-cita besar yang membutuhkan sinergi semua pihak. Di balik visi industri dan pariwisata, ada harapan untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, tanpa melupakan akar budaya dan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti kata Sudirman, “Ini bukan hanya tentang Batam, tapi tentang masa depan kita bersama. Penulis jurnalis Riky Rinovsky Dari Pulau Natuna Provinsi Kepri