PRANCIS – Calon petahana Emmanuel Macron dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden Prancis, mengalahkan rivalnya Marine Le Pen, kandidat dari kubu sayap kanan, dalam hasil pemungutan suara yang diumumkan pada Minggu 24 April 2022.
Kedua kandidat itu memiliki pandangan yang sangat berbeda, tidak hanya soal isu domestik, tapi juga mengenai peran Prancis di Eropa, NATO dan seluruh dunia.
Dalam pidato kemenangannya, Macron menyampaikan dipilih bukan karena gagasannya.
“Banyak orang di negara ini memilih saya bukan karena mereka mendukung gagasan saya, tapi untuk mencegah kubu ekstrem sayap kanan. Saya ingin berterima kasih kepada mereka dan saya berutang kepada mereka selama bertahun-tahun ke depan,” kata Macron.
“Dengan penghitungan suara yang telah mencapai 97%, Macron diproyeksikan akan meraih 57,4% suara, berdasarkan angka kementerian dalam negeri,” seperti dilaporkan Reuters.
BACA JUGA Kembali Memanas, Poster Film Borat 2 telah Memicu Kemarahan umat Islam di Prancis
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mencuit ucapan selamat kepada Macron. Ia mengatakan antusias untuk “melanjutkan kerjasama yang erat” dengan pemimpin Prancis itu.
Para pemimpin Eropa lain juga mengirimkan ucapan selamat, termasuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang mencuit dalam bahasa Prancis. “Saya yakin bahwa kita akan maju menuju kemenangan baru bersama. Menuju Eropa yang kuat dan bersatu!”
Profil dari Wikipedia
Emmanuel Jean-Michel Frédéric Macron lahir 21 Desember 1977 adalah seorang politikus Prancis yang menjabat sebagai Presiden Prancis dan ex-officio Pangeran Andorra sejak tanggal 14 Mei 2017.
Sebelumnya, Macron merupakan mantan bankir investor Prancis. Pada 26 Agustus 2014 ia dilantik sebagai Menteri Ekonomi, Pembaruan Industri dan Urusan Digital dalam pemerintahan Manuel Valls. Pada Pemilihan umum Presiden Prancis 2017, ia mengalahkan Marine Le Pen dengan meraup 66,06 persen suara jauh mengungguli Marine Le Pen, yang hanya meraup 34 persen suara. Kemenanganya menjadikan ia sebagai Presiden Prancis termuda dalam sejarah dengan usia 39 tahun.
Kehidupan awal dan pendidikan
Macron adalah putra dari Jean-Michel Macron, Profesor Neurologi di Universitas Picardy, dan Françoise Macron-Noguès, MD. Ia akrab dengan neneknya, seorang kepala sekolah yang tumbuh dalam rumah tangga iliterasi, dan tinggal dengannya selama beberapa waktu. Ia mempelajari piano selama sepuluh tahun, mendapatkan penghargaan ketiga di Konservatori Amiens.
Ia menempuh pendidikan selama beberapa tahun di lycée La Providence in Amiens yang didirikan oleh Yesuit[6] sebelum ia melanjutkan di sekolah tinggi élite Lycée Henri-IV di Paris. Ia mempelajari Filsafat di Universitas Paris-Nanterre, mendapatkan gelar DEA. Ia bekerja sebagai asisten Paul Ricoeur antara 1999 dan 2001 di mana ia membantu menyunting buku karya Ricoeur La Mémoire, l’histoire, l’oubli. Ia juga mendapatkan sebuah gelar dalam bidang Urusan Publik di Sciences Po, sebelum ikut serta dalam pelatihan sebagai pegawai negeri sipil senior di École nationale d’administration (ENA), lulus pada 2004.
Kontroversi Macron
Sementara itu, dilansir dari laman Kompas.com, sosok Macron juga pernah membuat kontroversi terkait dunia Islam. Pendapat tentang karikatur Nabi Muhammad Macron sempat memberi komentar pasca-guru sejarah di Perancis dipenggal karena menampilkan karikatur Nabi Muhammad. Dalam Islam, memuat gambar nabi memang dilarang. Tapi toh Macron menyatakan bahwa guru itu sedang “mengajarkan kebebasan berekspresi dan kepercayaan.” Boikot produk asal Perancis pun merebak menyusul ucapan kontroversial Macron ini.
Rencana reformasi Islam
Macron nilai Oknum yang mengatasnamakan Islam, sejak 2012, sering lakukan aksi penyerangan. Inilah yang membuat Macron menyerukan akan mereformasi praktik Islam di Perancis. Dana komunitas Muslim akan dibatasi, 50 asosialsi muslim di Perancis juga akan dibubarkan. Karena Islam adalah agama kedua terbesar di Perancis, tak ayal rencana ini memicu banyak kritik.
Sebut Islam berada dalam krisis “Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini, kami tidak hanya melihat ini di negara kami,” ucap Macron. Ucapan ini langsung menuai kritik. Apalagi, Macron juga mengumumkan untuk mengutamakan nilai sekuler di Perancis. Orang bebas memeluk agama, tapi nilai agama di sekolah dan publik akan dilarang, demi melindungi dari apa yang disebut Macron sebagai “radikalisme Islam”. (okezone/wikipedia/kompas)

























