
WARTAKEPRI.co.id, KARIMUN – Perayaan hari Raya Waisak merupakan momentum yang diperingati oleh seluruh umat Budha setiap tahunnya, tidak terkecuali di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau.
Penetapan hari Raya Waisak berdasarkan pada penanggalan kalender Buddha atau Buddhist Era (BE) pada tahun 2022 ini telah memasuki tahun ke-2566 BE, tepatnya pada tanggal 16 Mei 2022.
“Tri Suci Waisak ini guna memperingati hari kelahiran pencapaian kesadaran Budha (Parinirvana), dan saat ajal sang Budha jatuh pada hari dan bulan yang sama, yakni saat bulan purnama Sidi,” terang Pandita Madya R. Agus Priyono, Rabu (11/5/2022).
Dimana menurut pria yang juga sebagai pembina pada Profesional Muda Majelis Niciren Syosyu Budha Darma Indonesia
(MNSBDI) ini mengungkapkan, perayaan Waisak kali ini ditengah mewabahnya pandemi Covid-19, dan juga perang yang sedang berkecamuk di negara lain.
“Apakah peristiwa ini kebetulan saja atau terdapat makna di balik perayaan Waisak ini, mari kita coba memaknainya secara bersama-sama,” kata Agus.
Menurut pria kelahiran Cilacap, 15 Agustus 1976 ini, makna perayaan Waisak Sang Budha lahir sebagai seorang pangeran dengan nama Siddharta Gautama.
Dimana pengalamannya menyaksikan penderitaan manusia disebabkan sakit, karena faktor usia (tua), dan pada akhirnya meninggal dunia. Sehingga mendorongnya untuk mencari jawaban mengapa manusia harus lahir ke bumi, kalau pada akhirnya harus menderita karena tua, sakit dan meninggal dunia.
“Tidak ada orang yang bisa menghindari ketiga hal tersebut. Meski memiliki derajat, pangkat maupun kekuasaan (jabatan) pun ia tetap akan menjadi tua, sakit dan akhirnya akan meninggal dunia,” paparnya.
Kendati demikian, menurut pria yang memiliki satu orang putri ini mengatakan perumpamaan ada yang meninggal waktu bayi, dewasa maupun sudah tua. Kenapa dan buat apa sebenarnya lahir di dunia kalau harus menderita.
Peristiwa ini yang mendorongnya untuk keluar dari istana dan mencari jawaban. Setelah melewati pembelajaran pertapaan meditasi, menyiksa diri dengan berhenti makan dan minum, beliau mencapai kesadaran di bawah pohon Bodhi.
“Demikian pangeran Siddharta Gautama kemudian dikenal dunia sebagai Budha Sakyamuni, karena berasal dari suku Sakya yang memiliki kesadaran sempurna,” pungkasnya.
Yang pada akhirnya kata Agus, pangeran Siddharta Gautama menyebarkan ajarannya selama kurun waktu lebih dari 40 tahun, hingga kemudian beliau wafat.
“Ajarannya terus berkembang dan tersebar keseluruh penjuru dunia, hingga terus dihidupkan oleh para muridnya sampai sekarang,” tandasnya.
Masih kata Agus, salah satu ajaran yang mampu menjelaskan fenomena penderitaan dari orang tua, orang sakit dan orang yang telah meninggal dunia adalah konsep Maitri Karuna, yakni melawan benci dan mencabut penderitaan dengan memberi kebahagiaan pada orang lain.
“Salah satu tugas manusia untuk menghindari penderitaan adalah dengan cara memikirkan kebahagiaan orang lain dan mengetahui sumber penderitaan orang lain. Keterikatan dan kemelekatan pada diri sendiri atau egois inilah yang menjadi sumber penderitaan,” paparnya.
Konsep Maitri Karuna menurut Agus sudah seyogyanya menjadi tugas manusia. Meski memiliki profesi apapun seperti profesi sebagai pelajar, penegak hukum, dokter, petani, pejabat, wiraswasta dan lain sebagainya, harus memiliki prinsip Maitri Karuna. Kalau prinsip Maitri Karuna yang diajarkan oleh Sang Budha sebagai dasar dalam menjalankan profesi, kehidupan kebahagiaanpun akan tercapai.
“Kebahagiaan seorang dokter adalah mampu mengobati dan menyembuhkan pasiennya, kebahagiaan seorang pejabat pemerintah adalah melayani masyarakat, terjaminnya kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat,” imbuhnya.
Kebahagian sesungguhnya kata Agus adalah bukan kebahagiaan semu yang selalu timbul sesaat dari harta yang menumpuk ataupun popularitas yang melambung. Pertanyaannya masih bahagiakah kita saat harta dan tahta itu hilang?.
Pada kenyataannya kebahagiaan karena harta, tahta dan popularitas menurutnya bagaikan embun dipagi hari. Akan ada yang menghentikannya saat menemui tua, sakit hingga pada akhirnya meninggal dunia.
“Sebaliknya bila kita mengabdikan kebahagiaan pada orang lain meski kita tidak bergelimang harta dan tahta, kita akan tetap dikenang dan berjasa untuk banyak orang di lingkungan sekitar,” ungkapnya.
Untuk itu, pada kesempatan perayaan hari Waisak tahun ke-2566 BE yang berbahagia ini, meskipun ditengah mewabahnya pandemi Covid-19, Agus mengimbau sekaligus mengajak untuk tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
“Virus corona yang masuk ke dalam tubuh manusia ini sangat mematikan dengan waktu yang sangat cepat, sehingga untuk mencegah virus corona ini kita diwajibkan untuk selalu menerapkan protokol kesehatan Covid-19 secara ketat, salah satunya dengan menggunakan masker, mencuci tangan, menghindari kerumunan, menjaga jarak serta membatasi mobilitas,” paparnya.
Karena menurut Agus sendiri, penerapan protokol kesehatan secara ketat dilakukan karena pandemi Covid-19 ini sudah merenggut jutaan nyawa manusia.
Begitu juga halnya dengan perang, sama-sama bahayanya, merenggut jutaan nyawa manusia dari mulai anak-anak, laki-laki, perempuan, hingga orang tua menjadi korban.
“Banyak pendapat multi tafsir yang menganalisa munculnya virus corona ini dimanfaatkan oleh oknum untuk kepentingan bisnis, ada juga isu karena persaingan ekonomi dan lain sebagainya” tambah Agus.
Akan tetapi, Agus menitikberatkan jika ditelisik dari ajaran Sang Budha terdapat teori Esyofuni.
Dimana manusia sebagai subjek dan lingkungan sekitar merupakan objek. Saat lingkungan alam tidak memberi kontribusi pada manusia, ada kemungkinan manusianya juga lebih ego dan tidak mau memikirkan kebahagiaan sekitarnya.
“Yang jelas sudah keluar dari konsep Maitri Karuna, seperti yang diajarkan oleh Sang Budha,” ujarnya.
Masih kata Agus, munculnya virus corona justru memaksakan kita untuk menyelamatkan diri sendiri dengan memikirkan keselamatan orang lain.
Progam 5 M ini sendiri merupakan cara ampuh untuk menjaga diri sendiri dan orang lain agar dapat selamat dan sehat terhindar dari virus mematikan tersebut. Saat sebagian besar manusia sudah kehilangan kemampuan memikirkan kebahagiaan orang lain.
“Perayaan Waisak ini sebagai momentum untuk menyadarkan kita semua, bahwa perang dengan tujuan mencapai kebahagiaan dengan menguasai daerah lain bukanlah cara yang tepat. Selain itu juga makna Waisak akan menyadarkan kita bahwa pandemi Covid-19 mampu dikendalikan dengan memikirkan kebahagian orang lain dengan menerapkan 5 M,” tandasnya.
Tidak hanya itu saja, kata pria yang diangkat menjadi Pandita pada bulan Juni tahun 2009 ini, vaksin saja tidak cukup untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
“Masyarakat harus tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19, karena hanya dengan cara seperti itu kita mampu menyelamatkan orang lain, pada akhirnya juga menyelamatkan diri kita sendiri. Selamat menyambut hari Raya Waisak 2566 BE,” ujarnya mengakhiri. (Aman/Pandita Madya R.Agus Priyono)