Penyebab PT Sritex Setelah 58 Tahun Beroperasi dan Tutup 1 Maret 2025

Tetap semangat Pak Lukminto dan seluruh Karyawan Sritex
Penyebab PT Sritex Setelah 58 Tahun Beroperasi dan Tutup 1 Maret 2025

WARTAKEPRI.co.id – PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau Sritex, resmi menghentikan operasionalnya pada 1 Maret 2025, setelah 58 tahun beroperasi. Keputusan ini diambil menyusul putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024, akibat krisis keuangan yang berkepanjangan dan ketidakmampuan perusahaan membayar utang.

Penutupan Sritex berdampak signifikan terhadap tenaga kerjanya, dengan 10.669 karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Pada hari terakhir operasional, suasana haru menyelimuti pabrik saat para karyawan saling berpamitan dan menandatangani seragam kerja sebagai kenang-kenangan.

Pemerintah, melalui Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, menyatakan komitmennya untuk mencari solusi terbaik bagi para buruh yang terdampak. Upaya tersebut mencakup memastikan pemenuhan hak-hak pekerja, termasuk pesangon dan jaminan sosial, serta membantu mereka mendapatkan pekerjaan baru tanpa batasan usia.

WhasApp

Sritex, yang pernah menjadi raksasa tekstil di Asia Tenggara, kini memasuki fase likuidasi aset oleh kurator untuk melunasi kewajiban perusahaan. Pertimbangan untuk tidak melanjutkan operasional didasarkan pada ketiadaan modal kerja, kebutuhan tenaga kerja, biaya produksi, serta kekhawatiran bahwa kelanjutan usaha justru akan menimbulkan kerugian lebih lanjut.

Penyebab Sritex Tutup

BACA JUGA Ketua PWI Pusat: Pilihlah Pemimpin Daerah yang Kuat dan Mampu Perbaiki Ekonomi masa Pandemi

1. Utang Triliunan

PT Sritex telah lama bergelut dengan masalah keuangan yang semakin parah, bahkan sebelum pandemi COVID-19. Pada laporan keuangan September 2023, tercatat bahwa utang perusahaan mencapai Rp25 triliun.

Dalam upaya memenuhi kewajibannya kepada kreditur, termasuk PT Indo Bharta Rayon, Sritex sempat berusaha merestrukturisasi utang dan bahkan berjanji akan membayar utang berdasarkan putusan homologasi pada Januari 2022.

Namun, janji tersebut tidak dipenuhi, yang akhirnya memicu gugatan lebih lanjut dan berujung pada keputusan pailit. Pada 30 Juni 2024, total utang jangka panjang dan pendek Sritex tercatat mencapai USD1,6 miliar, yang sebagian besar berasal dari pinjaman bank dan obligasi.

Gagalnya pembayaran utang ini memperburuk citra dan stabilitas finansial Sritex yang sebelumnya merupakan produsen tekstil besar dengan kapasitas produksi 24 juta potong kain per tahun dan jangkauan pasar internasional.

Sebelumnya, berdasarkan laporan keuangan Desember 2020, total utang Sritex sebesar Rp 17,1 triliun. Padahal saat itu, total asset Sritex hanya Rp 26,9 triliun. Sementara, Sritex harus menghidupi lebih dari 17.000 karyawan.

2. Krisis Global Hingga Alami Rugi Imbas Banjir Tekstil Tiongkok

Selain masalah keuangan internal, Sritex juga menghadapi dampak dari krisis global yang menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan. Pandemi COVID-19 memukul industri tekstil, di samping persaingan yang semakin ketat dari negara-negara lain, Tiongkok.

Sritex melaporkan adanya gangguan supply chain dan penurunan ekspor, yang disebabkan oleh kondisi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan ketegangan Israel-Palestina, yang berimbas pada perubahan prioritas permintaan di pasar Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu, kebijakan harga yang tidak menguntungkan dari produk tekstil China turut memberi dampak besar bagi pasar lokal dan internasional.

Produk tekstil dari China yang dijual tanpa bea masuk antidumping serta tarif barrier menyebabkan terjadinya dumping harga, memaksa perusahaan-perusahaan tekstil Indonesia, termasuk Sri tex, untuk berjuang mempertahankan harga jual yang kompetitif.

3. Digugat Kreditur Lain

Sebelum pailit, Sritex pernah mendapatkan gugatan serupa terkait kewajiban pembayaran utang kepada CV Prima Karya pada 19 April 2021. Dikutip dari Kompas.com (7/5/2021), nilai utang Sritex dalam perkara PKPU No. 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Smg itu mencapai Rp 5,5 miliar.

Selaku kreditur, CV Prima Karya adalah kontraktor pabrik Sritex dan anak usahanya. Pengadilan mengabulkan gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) serta tiga anak usahanya PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.

Tak hanya perusahaan induk, anak perusahaan Sritez yakni PT Senang Kharisma Textil (SKT) mendapat gugatan PKPU dari PT Bank QNB Indonesia pada 20 April 2021 dan PT Nutek Kawan Mas pada 10 Mei 2021.

Upaya perbaikan dilakukan dengan merestrukturisasi dua anak perusahaan yakni PT Senang Kharisma Textil (SKT) dan PT Rayon Utama Makmur (RUM).

Kebangkrutan Sritex menandai akhir dari perjalanan panjang perusahaan tekstil yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia.(*)

Sumber : cai/Kompas/tribunnews

Google News WartaKepri DPRD BATAM 2025